“Sejarah Batik di Indonesia”
September 2009 lalu UNESCO memberikan pengakuan internasional kepada batik
Indonesia ke dalam Daftar Representatif sebagai Budaya Tak Benda Warisan
Manusia.
Pengakuan ini dilakukan secara resmi pada
sidang UNESCO di Abu Dhabi. Sebagai ungkapan rasa bahagia, maka setiap tanggal
2 Oktober ditetapkan sebagai Hari Batik. Batik Indonesia dinilai sarat teknik,
simbol, dan budaya yang terkait dengan kehidupan masyarakat. Hal ini tentu saja
membanggakan kita karena sebelumnya batik juga diklaim oleh negara lain sebagai
warisan nenek moyang mereka.
Memang sejak lama ada berbagai pengaruh
luar yang terdapat pada batik. Namun, akulturasi atau adaptasi budaya tersebut
tidak mungkin dihindarkan. Contohnya saja Candi Borobudur. Berbagai pengaruh
budaya India, tampak jelas dari keagamaan yang diwakili atau relief cerita yang
terpahat pada dinding candi. Namun Candi Borobudur tetap diakui sebagai karya
agung bangsa Indonesia sampai sekarang.
AsliIndonesia
Sebenarnya wacana tentang batik sebagai karya adiluhur mulai terlontar pada abad ke-19. Ketika itu pakar budaya Hindia Belanda, JLA Brandes mengatakan bahwa batik merupakan peninggalan asli milik bangsa Indonesia. Menurutnya, segala unsur dalam batik itu tidak dipengaruhi kebudayaan India, baik yang bercirikan Hinduisme maupun Buddhisme.
Pada awalnya pendapat Brandes itu mendapat
tentangan dari sejumlah pakar budaya lain, di antaranya NJ Krom. Dia mengatakan
bahwa batik sudah lama dikenal di India. Contohnya adalah seni batik yang
berkembang di pantai Koromandel. Dari India, menurut Krom, seni itu dibawa ke
Indonesia melalui jalur perdagangan.
Ada sebuah mitos bahwa pada abad ke-7
seorang pangeran dari pantai timur Jenggala bernama Lembu Amiluhur memperisteri
seorang puteri bangsawan dari Koromandel. Puteri itu lalu mengajari seni
membatik, menenun, dan mewarnai kain kepada para dayangnya. Maka dari itu
orang-orang Jawa memiliki kemampuan membatik.
Pakar lain mengungkapkan, kemungkinan
batik mulai diperkenalkan pada abad ke-7 hingga ke-8 oleh masyarakat Cina.
Awalnya, pada abad-abad itu sejumlah kerajaan kuno di Indonesia mengirimkan
misi diplomatik dan perdagangan ke Cina.
Sebagai negara penghasil keramik terbesar,
konon di Cina didapati semacam motif batik pada keramik zaman dinasti Tang. Bahkan
keramik tersebut juga dibuat dengan sistem batik, yakni bejana keramik diolesi
malam (sejenis lilin) terlebih dulu, sebelum dilapisi dengan glasir. Pecahan
keramik Cina tiga warna yang mirip batik seperti itu, banyak ditemukan pada
situs-situs arkeologi di sekitar Candi Prambanan (Satyawati Suleiman,
1986:161). Temuan-temuan itulah yang rupanya mendasari teori bahwa batik
berasal dari Cina.
Sebagian besar pakar sepakat bahwa
asal-muasal batik adalah dari Indonesia. Kemungkinan, motif batik terinspirasi
dari pola anyaman pada tembikar yang berasal dari masa prasejarah. Karena pada
masa itu bahan pakaian dibuat dari kulit kayu dan serat tumbuh-tumbuhan, maka
motif batik masih sangat primitif. Demikian pula pewarnaannya masih menggunakan
manambul, yakni bahan pewarna alami yang menghasilkan warna gelap atau hitam,
sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Alasantan dari masa abad ke-10 Masehi.
Sebagian pakar menduga, batik memang
berasal dari Cina dan/atau India. Namun, dengan teknologi tradisional, batik
dikembangkan oleh masyarakat Jawa dengan segala filosofinya.
Diperkirakan, tradisi batik berawal di
sekitar abad-abad ke-10, meskipun sulit melacak pastinya. Apalagi kata batik
tidak ditemukan dalam bahasa Sansekerta atau Jawa kuno, bahasa mayoritas waktu
itu. Ada dugaan kata batik berasal dari kata Melayu kuno tik yang berarti
titik. Kain batik pada awalnya memang adalah kain yang dihiasi dengan gambar
yang dibuat dari garis-garis dan titik-titik.
Pendapat lain mengatakan, kata batik
berasal dari bahasa Jawa amba (menulis) dan titik, lalu diambil suku kata
belakangnya saja: ba dan tik. Memang, pembuatan kain batik menggunakan canting
yang ujungnya kecil, sehingga memberi kesan “orang sedang menulis titik-titik”.
Dalam bahasa Jawa krama, batik disebut seratan, sementara dalam bahasa Jawa
ngoko disebut tulis. Yang dimaksud adalah menulis dengan lilin.
Industri batik dalam bentuknya yang paling
sederhana, diperkirakan mulai dikembangkan pada abad ke-10 itu juga ketika Jawa
banyak mengimpor kain putih (kain mori) dari India sebagaimana diungkapkan
berbagai sumber kuno. Bisa jadi lebih berkembang pada abad ke-11, saat sebuah
prasasti menyebutkan kata “tulis” yang berkonotasi menorehkan desain batik
dengan sejenis alat (canting).
Selain sumber tertulis berupa prasasti,
motif-motif seperti batik bisa ditelusuri lewat sejumlah relief cerita di Candi
Borobudur. Hanya penafsirannya masih memerlukan bahan pembanding lebih banyak.
Persoalannya adalah batu-batu candi itu sudah agak aus, sehingga detail gambar
kurang terlihat nyata.
Arca
Informasi yang lebih akurat tentang batik ditafsirkan dari berbagai kain yang dikenakan oleh sejumlah arca batu. Terutama pada arca-arca yang berukuran relatif besar dari zaman Majapahit. Konon arca Kertarajasa yang merefleksikan pendiri Majapahit, Raden Wijaya, dalam perwujudannya sebagai Harihara, memakai motif batik kawung. Karena itu kemudian batik kawung dianggap sebagai batiknya para raja atau bangsawan di Jawa.
Begitu pula pada arca Prajnaparamita yang
terdapat di Candi Gumpung, Muara Jambi. Arca Harihara dan Prajnaparamita
diperkirakan berasal dari abad ke-13. Jika motif pada arca tersebut boleh
disebut sebagai batik, maka penciptaan batik merupakan perjalanan panjang cipta
karsa peradaban manusia Nusantara sejak berabad sebelumnya.
Tafsiran lain mengatakan pola ceplok yang
merupakan pola-pola batik kuno terdapat pada berbagai hiasan arca di
candi-candi Hindu dan Buddha. Bentuknya adalah kotak, lingkaran, binatang,
bentuk tertutup, dan garis-garis miring. Dasar pola ceplok paling nyata terdapat
pada arca Buddha Mahadewa dari Tumpang dan arca Berkuti dari Candi Jago.
PerkembanganBatik
Seni membatik mulai membudaya pada abad ke-12. Mula-mula berkembang di Pulau Jawa, terutama di daerah Surakarta (Solo) dan Yogyakarta. Diperkirakan batik mulai dikenal luas pada abad ke-17. Semula batik ditulis dan dilukis pada daun lontar, dengan dominasi bentuk binatang dan tanaman. Namun lambat laun muncul motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber, dan sebagainya. Sebuah catatan tertulis menyebutkan batik baru muncul pada 1518 di wilayah Galuh, sekitar Barat Laut Jawa di masa pra-Islam.
Jenis dan corak batik tradisional sendiri
tergolong amat banyak. Corak dan variasinya disesuaikan dengan filosofi dan
budaya masing-masing daerah yang memiliki kebudayaan atau tradisi batik.
Sejarah batik di Indonesia sangat boleh
jadi berkaitan dengan Kerajaan Mataram Hindu (abad ke-9 hingga ke-10) dan
Kerajaan Majapahit (abad ke-13 dan seterusnya). Pengembangan batik kemudian
banyak dilakukan pada masa-masa Kerajaan Mataram Islam, diteruskan pada masa
Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Pada awalnya, batik merupakan kesenian
gambar di atas kain yang dikhususkan untuk pakaian keluarga para raja Jawa dan
para pengikutnya. Karena itu batik hanya dikerjakan terbatas dalam lingkungan
keraton. Namun karena banyak pengikut raja bertempat tinggal di luar keraton,
maka kesenian batik ini dibawa ke luar keraton dan dikerjakan di rumah
masing-masing abdi dalem.
Selanjutnya kesenian batik ini ditiru oleh
rakyat terdekat dan meluas menjadi pekerjaan rumah tangga kaum wanita untuk
mengisi waktu senggang. Maka, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga istana,
kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari oleh wanita dan pria dari segala
golongan ataupun umur.
Majapahit
Batik semakin berkembang setelah akhir abad ke-18, paling tidak awal abad ke-19. Batik yang dihasilkan mulanya adalah batik tulis sampai awal abad ke-20. Batik cap baru dikenal seusai Perang Dunia I atau sekitar tahun 1920.
Batik yang telah menjadi kebudayaan di
Kerajaan Majapahit, konon jejak-jejaknya masih dapat ditelusuri di daerah
Mojokerto, Tulung Agung, dan Jombang. Sampai akhir abad ke-19 kerajinan batik
masih populer di Mojokerto.
Tersebarnya batik ke berbagai wilayah,
salah satunya karena dampak Perang Diponegoro (1825-1830). Ketika itu
pasukan-pasukan Kiai Maja mengundurkan diri ke arah timur yang sekarang bernama
Majan. Maka dikenallah nama Batik Majan yang muncul seusai Perang Diponegoro
itu.
Di sejumlah daerah penyebarluasan seni batik
dilakukan oleh putri keraton Solo yang menikah dengan Kiai Hasan Basri. Di
antaranya dibawa ke Tegalsari dan Ponorogo, yang memang tidak jauh dari Solo.
Yang pertama dikenal adalah batik tulis. Pembuatan batik cap di Ponorogo baru
dikenal setelah Perang Dunia I, dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari
Banyumas.
Dari kerajaan-kerajaan di Solo dan
Yogyakarta, batik kemudian menyebar ke berbagai daerah, khususnya di wilayah
Pulau Jawa. Kalau pada awalnya batik hanya sekadar hobi dari para keluarga raja
di dalam berhias lewat pakaian, maka pada masa-masa selanjutnya batik
dikembangkan menjadi komoditi perdagangan. Selama bertahun-tahun Batik Solo
sangat disukai kalangan ningrat karena corak dan pola tradisionalnya sangat
khas, misalnya Batik Sidamukti dan Sidaluhur.
Di Yogyakarta batik mulai dikenal pada
masa Kerajaan Mataram Islam dengan rajanya Panembahan Senopati. Daerah
pembatikan pertama adalah di desa Plered. Pembatikan pada masa itu terbatas
dalam lingkungan keluarga keraton yang dikerjakan oleh wanita-wanita pembantu
ratu. Oleh karena warga masyarakat tertarik pada pakaian-pakaian yang dikenakan
oleh keluarga keraton, maka mereka menirunya. Akhirnya meluaslah pembatikan
keluar dari tembok keraton.
Akibat dari peperangan antara keluarga
raja-raja maupun dengan tentara Belanda dahulu, maka banyak keluarga raja yang
mengungsi dan menetap di daerah-daerah baru, antara lain ke Banyumas,
Pekalongan, Ponorogo, dan Tulungagung. Mereka ikut mengembangkan pembatikan ke
seluruh pelosok pulau Jawa.
Tarumanagara
Dilihat dari peninggalan-peninggalan yang ada sekarang dan cerita-cerita turun-temurun, diperkirakan di daerah Tasikmalaya batik dikenal sejak zaman Kerajaan Tarumanagara. Kemungkinan pohon tarum yang banyak terdapat di sana dimanfaatkan untuk pembuatan batik kala itu.
Ke luar Jawa pun batik berkembang,
termasuk ke Sumatera Barat. Sumatera Barat termasuk daerah konsumen batik sejak
zaman sebelum Perang Dunia I, terutama batik-batik produksi Pekalongan, Solo,
dan Yogyakarta. Meskipun di Sumatera Barat telah berkembang terlebih dahulu
industri tenun tangan “tenun Silungkang” dan “tenun plekat”, namun batik tetap
digemari masyarakat setempat.
Pembatikan mulai berkembang di Padang
setelah pendudukan Jepang. Pengembangannya terjadi secara tidak disengaja.
Ketika itu akibat blokade Belanda, perdagangan batik menjadi lesu. Karenanya
pedagang-pedagang batik yang biasa berhubungan dengan pulau Jawa mencari jalan
untuk membuat batik sendiri. Ciri khas dari Batik Padang adalah kebanyakan
berwarna hitam, kuning, dan merah ungu dengan pola Banyumasan, Indramayuan,
Solo, dan Yogyakarta.
Di antara berjenis-jenis batik, tidak
dimungkiri kalau yang paling populer sampai sekarang adalah Batik Pekalongan.
Perjumpaan masyarakat Pekalongan dengan berbagai bangsa seperti Cina, Belanda,
Arab, India, Melayu, dan Jepang pada zaman lampau telah mewarnai dinamika pada
motif dan tata warna seni batik. Ada beberapa jenis motif batik hasil pengaruh
dari berbagai negara tersebut yang kemudian dikenal sebagai jati diri Batik
Pekalongan. Motif Jlamprang, umpamanya, merupakan ilham dari India dan Arab.
Lalu Batik Encim dan Klengenan, dipengaruhi oleh peranakan Cina. Batik Belanda
(disebut juga Batik VOC atau Batik Kompeni), Batik Pagi Sore, dan Batik
Hokokai, tumbuh pesat sejak pendudukan Jepang.
Sebagai pakaian adat yang dulu banyak
dipakai kalangan keraton, tentu saja batik sudah mempunyai motif baku yang
penuh filosofi. Pada dasarnya ragam hias batik yang bercirikan tradisional
adalah pola geometrik (ceplokan, pola hias kawung, nitik, lereng, parang, dll)
dan pola non-geometrik (sidaluhur, sidamukti, semen rama, dll).
Dulu, pakaian batik menunjukkan status
sosial. Selain itu banyak dipakai untuk upacara daur hidup. Namun dalam
perkembangan selanjutnya batik berubah menjadi kain hiasan, artinya tidak
digunakan semata-mata untuk pakaian tetapi juga untuk seprei, taplak meja,
sarung kursi, dan sebagainya.
Patut dipertanyakan, apakah kita sudah
bangga dengan ditetapkannya batik sebagai ikon warisan budaya asal Indonesia
yang bertaraf internasional? Bagaimana dengan upaya pelestarian batik, yang
semakin tahun semakin sedikit pendukungnya?
Pada pertengahan 2009 Departemen Arkeologi
UI diundang oleh Walikota Pekalongan untuk berkunjung ke Museum Batik di sana.
Maksudnya agar Tim Arkeologi UI bisa memberikan masukan untuk pengembangan
batik di museum tersebut.
Di antara kegiatan itu tim UI sempat
mengunjungi pengrajin batik terkenal di masa lalu, yakni seorang pioner batik
peranakan. Ironisnya, saat ini tinggal cucunya seorang diri yang mengembangkan
batik tersebut. Lainnya sudah gulung tikar atau alih profesi. Cucunya ini masih
bertahan hanya karena ingin mempertahankan kehidupan para pengrajin yang sudah
lama ikut dengan kakeknya dulu.
Hal ini tentu sangat dilematis, mau di
kemanakan bila usaha ini tutup. “Sebagai jalan keluar Departemen Arkeologi
sekarang ikut membantu memasarkan batik ini agar pengrajin terbantu, sementara
batik peranakan tetap lestari,” kata Dr. Heriyanti, salah seorang dosen di
Departemen Arkeologi UI.
Pada dasarnya batik dibedakan atas dua
macam berdasarkan lokasinya, yakni batik pesisiran dan batik pedalaman. Batik
pesisiran lebih berkembang karena banyak mendapat pengaruh dari luar. Dari
teknik pembuatannya dikenal beberapa jenis batik, yaitu batik simbut, batik tulis,
batik cap, batik printing, batik prada, dan batik campuran.
BatikPengaruhCina
Budaya Cina banyak memengaruhi ragam hias batik di Jawa, terlebih pada daerah pesisir utara Jawa. Corak hias naga, burung hong, bunga peony, dan rumpun bambu sering dijumpai pada batik-batik tersebut. Misalnya saja pada Batik Cirebon, Batik Lasem, dan Batik Pekalongan. Begitu juga di Rembang, Juwana, dan Pati. Di ketiga daerah ini batik gaya Cinanya disebut Lok Can.
Lok Can adalah salah satu jenis batik
sutera yang paling populer, arti sebenarnya adalah sutera kebiru-biruan. Dulu
batik Lok Can dipasok ke Bali, Nusa Tenggara, dan Sumatera. Bahkan diekspor ke
Shanghai dan Hongkong.
Di daerah Cirebon dan Lasem berkembang
Batik Bang-bangan. Batik ini menggunakan warna merah (Jawa, abang) pada proses
pencelupannya, di atas warna dasar coklat sehingga menghasilkan warna merah
bata yang unik.
Batik biru putih disebut Batik Kelengan,
banyak ditemukan di daerah Ciledug, Cirebon. Batik ini dibuat dari bahan dasar
kain katun dengan proses pewarnaan dan bahan-bahan alami (Buku Pengantar
Pameran Tekstil dan Busana Indonesia yang Dipengaruhi Budaya Cina, 2005)
Pengaruh Cina tampak pula pada Batik Tiga
Negeri. Dinamakan demikian karena proses pencelupan dan pelilinan berlangsung
di tiga sentra batik yang berbeda, yakni Lasem, Pekalongan, dan Solo.
Salah satu corak batik pesisiran yang
lumayan populer adalah Batik Buketan, dari bahasa Inggris bouquet. Batik ini
sering diperkaya dengan ragam hias berupa kumpulan karangan bunga.
PenggolonganBatik
Penciptaan batik tidak terjadi begitu saja. Batik membutuhkan kain, kain membutuhkan keterampilan memintal. Memintal juga membutuhkan keterampilan memilih bahan yang tepat untuk kemudian diolah menjadi benang dan dirangkai menjadi pintalan.
Di beberapa wilayah di Indonesia, banyak
dijumpai bahan-bahan pembuatan batik dari bahan alami, seperti kayu pohon
mengkudu, kunyit, tinggi, soga, dan nila. Juga bahan soda yang dibuat dari soda
abu serta garam yang dibuat dari tanah lumpur.
Kain batik memiliki nilai sejarah yang tak
ternilai, karena pada kain batik terdapat makna suatu peristiwa, identitas,
penjelasan strata sosial, bahasa kebudayaan, spiritualitas manusia, penemuan
teknologi, dan perjalanan suatu peradaban.
Batik merupakan seni melukis yang dilakukan
di atas kain. Dalam pengerjaannya, pembatik menggunakan lilin atau malam untuk
mendapatkan ragam hias atau pola di atas kain yang dibatik dengan menggunakan
alat yang dinamakan canting.
Indonesia memiki banyak karya budaya.
Batik merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang telah diwariskan
secara turun-temurun dari nenek moyang. Dibandingkan peninggalan budaya
lainnya, seni batik memiliki kelebihan tersendiri. Nilai pada batik Indonesia
bukan hanya semata-mata pada keindahan visual. Lebih jauh, batik memiliki nilai
filosofi yang tinggi serta sarat akan pengalaman transendenitas. Nilai inilah
yang mendasari visualisasi akhir yang muncul dalam komposisi batik itu.
Kegiatan membatik merupakan sebuah proses
yang membutuhkan ketelatenan, keuletan, kesungguhan, dan konsistensi yang
tinggi. Hal ini dapat dilihat dari serangkaian proses, mulai dari mempersiapkan
kain, membuat pola, membuat isian, hingga pengeringan.
Batik dapat dilihat dari beberapa aspek,
yaitu proses pembatikan, kualitas pembatikan, motif, dan warna batik. Beberapa
orang ada yang memperhitungkan makna atau nilai yang terkandung dalam selembar
kain batik.
Secara visual, batik mempunyai sejumlah
pakem yang mesti diterapkan dalam penggunaannya. Baik dalam pakem pembuatan
pola maupun pakem penggunan motif tersebut beserta acara atau upacara ritual
yang akan diselenggarakan. Tidak sembarang orang boleh menggunakan pola
tertentu. Pola Parang Rusak, misalnya, hanya boleh digunakan oleh Pangeran atau
Pola Truntum yang diperuntukkan bagi pasangan pengantin.
Warna yang digunakan pada batik keraton
terbatas pada pewarna alami. Ini karena pada masa itu belum ditemukan pewarna
sintesis. Berdasarkan kosmologi Jawa, penerapan warna seperti hitam, merah,
putih atau coklat mengacu pada pakem yang berlaku. Semua tata aturan tersebut
bertujuan untuk penyelarasan dan harmonisasi. Penyelarasan dan harmonisasi itu
sendiri merupakan suatu tujuan utama dari kearifan lokal dalam penciptaan karya
seni, dalam hal ini adalah batik. Penciptaan tersebut merupakan suatu bagian
dari kehidupan sehari-hari. Hal ini kiranya sesuai dengan adagium “seni sebagai
seni”, bukan seni untuk sebatas harta.
DesainBatik
Pada umumnya ada dua jenis desain batik, yaitu geometris dan non-geometris. Desain geometris terdiri atas (1) motif parang dan diagonal, (2) persegi/persegi panjang, silang atau motif ceplok dan kawung, dan (3) motif bergelombang (limar). Sementara desain non-geometris terdiri atas (1) semen [motif semen terdiri atas flora, fauna, gunung (meru), dan sayap yang dirangkai secara harmonis], (2) buketan, dan (3) lunglungan.
Ditinjau dari jenisnya, kita mengenal
batik keraton, yakni batik dari Surakarta (Solo) dan Yogyakarta (Yogya). Batik
keraton memiliki beberapa motif dan filosofi. Motif Ceplokan Kasatrian
digunakan oleh masyarakat kelas menengah ke bawah, orang yang mengenakannya
akan terlihat gagah dan kepribadian yang berani; Motif Parang Rusak Barong
(parang berarti senjata) menunjukkan kekuatan, kekuasaan, dan pergerakan yang
gesit, ksatria yang mengenakan batik ini terlihat gagah dan cekatan; Motif
Kawung digunakan oleh para Raja dan keluarga kerajaan, sebagai sebuah simbol
kekuasaan dan keadilan; Motif Truntum (truntum berarti membimbing), mengandung
makna bahwa diharapkan orang yang memakainya dapat memperoleh dan memberi
kebaikan.
Jenis lainnya adalah batik pesisir, yakni
batik yang dibuat di luar daerah Solo dan Yogyakarta. Beberapa contohnya Motif
Megamendung dari Cirebon, Motif Paksinagaliman dari Cirebon, Motif Merak
Ngibing dari Indramayu, dan Motif Sawat Gunting, juga dari Indramayu.
Batik harus benar-benar kita lestarikan.
Pengalaman yang lalu-lalu menunjukkan pelestarian berbagai peninggalan masa
lampau hampir selalu terabaikan karena masalah dana. Nah, mulailah membuka
mata, perjuangan keras agar batik tidak diklaim negara lain sudah berhasil,
kini upaya pelestarian harus benar-benar dipikirkan.
BOX
SejarahTeknikBatik
Seni pewarnaan kain dengan teknik pencegahan pewarnaan menggunakan malam adalah salah satu bentuk seni kuno. Penemuan di Mesir menunjukkan bahwa teknik ini telah dikenal sejak abad ke-4 SM, dengan ditemukannya kain pembungkus mumi yang juga dilapisi malam untuk membentuk pola. Di Asia, teknik serupa batik juga diterapkan di Cina, semasa Dinasti T’ang (618-907) serta di India dan Jepang semasa Periode Nara (645-794). Di Afrika, teknik seperti batik dikenal oleh Suku Yoruba di Nigeria, serta Suku Soninke dan Wolof di Senegal. Di Indonesia, batik dipercaya sudah ada semenjak zaman Majapahit, dan menjadi sangat populer akhir abad XVIII atau awal abad XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad XX. Batik cap baru dikenal setelah Perang Dunia I atau sekitar tahun 1920-an.
Walaupun kata “batik” berasal dari bahasa
Jawa, kehadiran batik di Jawa sendiri tidak tercatat. G.P. Rouffaer berpendapat
bahwa teknik batik ini kemungkinan diperkenalkan dari India atau Srilangka pada
abad ke-6 atau ke-7.
Di sisi lain, J.L.A. Brandes dan F.A.
Sutjipto percaya bahwa tradisi batik adalah asli dari daerah seperti Toraja,
Flores, Halmahera, dan Papua. Perlu dicatat bahwa wilayah tersebut bukanlah
area yang dipengaruhi oleh Hinduisme tetapi diketahui memiliki tradisi kuna
membuat batik.
G.P. Rouffaer juga melaporkan bahwa pola
gringsing sudah dikenal sejak abad ke-12 di Kediri, Jawa Timur. Dia menyimpulkan
bahwa pola seperti ini hanya bisa dibentuk dengan menggunakan alat canting,
sehingga ia berpendapat bahwa canting ditemukan di Jawa pada masa sekitar itu.
Legenda dalam literatur Melayu abad ke-17,
Sulalatus Salatin menceritakan Laksamana Hang Nadim yang diperintahkan oleh
Sultan Mahmud untuk berlayar ke India agar mendapatkan 140 lembar kain serasah
dengan pola 40 jenis bunga pada setiap lembarnya. Karena tidak mampu memenuhi
perintah itu, dia membuat sendiri kain-kain itu. Namun sayangnya kapalnya karam
dalam perjalanan pulang dan hanya mampu membawa empat lembar sehingga membuat
sang Sultan kecewa. Serasah itu ditafsirkan sebagai batik.
Dalam literatur Eropa, teknik batik ini
pertama kali diceritakan dalam buku History of Java (London, 1817) tulisan Sir
Thomas Stamford Raffles. Ia pernah menjadi Gubernur Inggris di Jawa semasa
Napoleon menduduki Belanda.
Pada 1873 seorang saudagar Belanda Van
Rijekevorsel memberikan selembar batik yang diperolehnya saat berkunjung ke
Indonesia ke Museum Etnik di Rotterdam dan pada awal abad ke-19 itulah batik
mulai mencapai masa keemasannya. Sewaktu dipamerkan di Exposition Universelle
di Paris pada tahun 1900, batik Indonesia memukau publik dan seniman.
Sejak industrialisasi dan globalisasi,
yang memperkenalkan teknik otomatisasi, batik jenis baru muncul. Dikenal
sebagai batik cap dan batik cetak, sementara batik tradisional yang diproduksi
dengan teknik tulisan tangan menggunakan canting dan malam disebut batik tulis.
Pada saat yang sama imigran dari Indonesia ke Persekutuan Malaya juga membawa
batik bersama mereka.
BudayaBatik
Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia, khususnya Jawa, sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya “Batik Cap” yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak “Mega Mendung”, dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki.
Tradisi membatik pada mulanya merupakan
tradisi yang turun-temurun, sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali
berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan
status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya
dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta.
Batik merupakan warisan nenek moyang
Indonesia yang sampai saat ini masih ada. Batik pertama kali diperkenalkan
kepada dunia oleh Presiden Soeharto, yang pada waktu itu memakai batik pada
Konferensi PBB.
CorakBatik
Ragam corak dan warna batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing. Awalnya, batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan juga pada akhirnya, para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh Tionghoa, yang juga mempopulerkan corak phoenix. Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik, dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru. Batik tradisonal tetap mempertahankan coraknya, dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan masing-masing.
Pada awalnya baju batik kerap dikenakan
pada acara acara resmi untuk menggantikan jas. Tetapi dalam perkembangannya
pada masa Orde Baru baju batik juga dipakai sebagai pakaian resmi siswa sekolah
dan pegawai negeri (batik Korpri) setiap hari Jumat. Perkembangan selanjutnya
batik mulai bergeser menjadi pakaian sehari-hari terutama digunakan oleh kaum
wanita. Pegawai swasta biasanya memakai batik pada hari Kamis atau Jumat.
Di Malaysia setiap Kamis, semua pegawai
negeri lelaki diharuskan memakai baju batik Malaysia mulai 17 Januari 2008.
Ketua Pengarah Jabatan Perkhidmatan Awam Tan Sri Ismail Adam telah membagikan
kepada semua jabatan kerajaan. Sebelum ini peraturan memakai baju batik hanya
pada Sabtu saja. Kemudian diubah kepada hari ke-1 dan hari ke-15 setiap bulan.
Tetapi banyak yang melupakannya.